“Kamu sudah menikah Shina...”
Riri menekankan statusku untuk kesekian kalinya. Seakan-akan dia lupa bahwa aku ingat betul, aku memang sudah menikah. Aku biarkan dia memberikan ekspresi tak percayanya. Aku mengaduk teh di depanku perlahan. Berharap rasanya akan lebih manis dari yang tadi. Teh dengan sedikit gula, pesananku sendiri.
“Dima mencintaimu...”
Aku memutar mataku dan mengangkat sebelah alis tanpa mengucapkan sepatah katapun untuk Riri. Perempuan yang usianya lebih muda beberapa tahun dariku itu terlihat resah. Dia sama sekali tak menyentuh kopi yang dia pesan sejak tadi. Uapnya juga sudah menghilang. Dingin. Aku memperhatikan banyak orang yang berlalu lalang di depan kafe yang sering kami singgahi sejak awal kuliah dulu. Riri selalu mengikutiku, menganggap aku seperti kakaknya sendiri karena memang usiaku yang paling tua di kelas. Kuliah setelah menikah memang keputusanku sejak dulu. Tak ingin kuliah dengan status lajang aku ambil keputusan untuk menikah baru kuliah setahun kemudian.
“Shina, apa yang kamu lakukan ini salah.”
Aku menarik napas panjang sebelum mengeluarkan jawaban untuk tuduhan Riri.
“Riri, aku tidak melakukan apa-apa.”
“Mulai sekarang kamu harus minum kopi lagi, jangan berhenti.”
“Aku lebih suka teh, membantuku tidur, kopi hanya membuatku terjaga sepanjang malam.”
Riri menarik napas lebih panjang dariku sebelumnya. Aku tahu kepalanya sakits ekali sekarang. Dia begitu memuja pernikahanku dan Dima. Tak ingin terjadi sesuatu yang bisa menggoyahkan pernikahan suci itu. Dima memang laki-laki yang baik, aku tidak salah memilihnya. Sejak pertama memutuskan menerima lamarannya karena aku melihat banyak sekali kebaikan di dalam dirinya. Dia laki-laki paling penyabar yang pernah aku kenal.
“Itu tidak adil buat Dima.”
“Bagian mana yang tidak adil?”
“Shina kamu egois!”
“Riri...”
“Bercerai saja Shina, itu jauh lebih baik buat Dima.”
Riri menyambar tasnya dan meletakkan beberapa lembar uang di atas meja kemudian berlalu. Aku tak pernah melihatnya sekesal itu. Aku tak berusaha mengejarnya karena aku tahu yang sekarang dia butuhkan adalah jarak. Jarak yang panjang. Kupinggirkan gelas teh yang dari tadi hanya kuminum sedikit. Gelas Riri yang tak tersentuh dan kopinya juga sudah dingin berada di hadapanku sekarang. Kuhirup sampai habis. Semoga saja kopi ini bisa membuatku terjaga sepanjang malam. Tas di kursi segera berpindah ke tanganku dan aku melangkah terburu-buru keluar dari kafe.
“Riri tidak datang?”
Dima terlihat mencari-cari dengan matanya keberadaan Riri yang biasanya selalu ada di belakangku. Gelengan kepalaku memastikan bahwa dia memang tidak ikut kali ini. Setelah aku masuk Dima segera menutup pintu dan mengikuti langkahku ke kamar. Di atas meja dia sudah menyiapkan apa yang seharusnya aku minum. Obat tidur yang akan membantuku terlelap sampai pagi. Tak perlu resah karena sepanjang malam harus terjaga. Aku menghindari kopi karena masalah susah tidur ini, tapi kemudian aku menemukan dunia baru di dalam mimpiku sendiri. Dunia yang di dalamnya tak ada Dima.
“Sudah makan?”
“Sudah.”
“Mandilah, lalu minum obat, setelah itu tidur.”
“Iya...”
Aku melirik Dima yang bergerak ke ruang tamu. Perlahan aku sendiri menyelinap ke dapur. Malam ini aku tak ingin tidur. Riri benar. Apa yang aku lakukan ini salah. Sudah menikah dengan laki-laki sebaik Dima dan aku masih membiarkan hatiku untuk orang lain. Kopi bubuk Aming dua sendok, bergerak dengan adukan di dalam air panas mendidih. Kemudian sedikit gula ikut larut. Kuhirup perlahan sambil sesekali meniupnya. Sebelum Dima menemukan gelas sisa kopi, aku sudah mencucinya dan mengembalikan gelas itu ke tempat semula.
“Tidurlah...”
Tangan Dima mengusap dahiku. Dirapatkannya selimut yang aku kenakan. Lampu kamar segera dia matikan sebelum dia menuup pintu. Aku melihat bayangannya bergerak menuju ruang kerjanya lagi. Seperti biasa, dia masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Obat tidur yang seharusnya aku minum sejak tadi hanya aku genggam. Malam ini, sekali saja, aku ingin punya kontrol terhadap diriku sendiri. Tak ingin tidur di bawah pengaruh obat. Jika memang aku butuh tidur, aku pasti akan tertidur sampai pagi. Tanpa bantuan obat apa pun.
Hari ini aku minum dua gelas kopi dan sukses membuatku terjaga. Ada rasa ingin tidur dan berlayar ke alam mimpi. Namun ada yang salah dengan mimpiku. Mimpi itu terlalu nyata. Melibatkan banyak hal nyata yang ada di sekelilingku dan itu cukup mengganggu. Dalam gelap aku mendengar suara ketukan halus di pintu depan. Terdengar suara pintu depan dibuka beberapa detik kemudian. Pasti Dima sudah menunggu kedatangan orang yang malam ini bertandang.
Siapa?
Kuturunkan kakiku dan berjalan sambil menahan napas menuju pintu. Aku ingin mendengarkan pembicaraan mereka. Suara perempuan. Sangat familiar. Mungkinkah itu suara Riri? Untuk apa dia malam-malam datang ke sini? Bukannya dia tahu kalau aku sudah pasti tertidur dan tak bisa menemaninya mengobrol sampai jauh malam? Kupingku menempel ke daun pintu. Samar-samar aku mendengarkan suara obrolan mereka.
“Sudah tidur sejak tadi...”
“Dia masih minum obat tidur?”
“Iya memangnya ada apa?”
“Seharusnya kamu tidak memberinya obat tidur lagi.”
“Bukannya lebih baik begitu?”
Sejak kapan Riri memanggil Dima dengan sebutan ‘kamu’? Selama ini dia memanggilnya Mas Dima. Tak pernah sekalipun dia menyebut Dima dengan sebutan ‘kamu’.
“Dia akan memimpikan orang itu lagi, Dima.”
Suara Riri meninggi. Mereka bertengkar? Alasannya karena aku masih minum obat tidur?
“Aku tahu dia memimpikan Atra setiap malam. Shina selalu memanggil-manggil namanya dengan mesra dalam tidurnya.”
Dima tahu? Aku menutup mulutku. Kaget setengah mati. Bagaimana mungkin aku bermimpi sampai memanggil-manggil nama Atra? Rasanya napasku hampir berhenti. Aku menarik napas panjang dan mengumpulkan cahaya yang menyelinap dari bawah pintu. Terlalu gelap. Aku sampai sesak napas.
“Aku bisa gila, Dima.”
“Terus kamu maunya bagaimana?”
“Apa sih susahnya bercerai? Kalian itu aneh. Bertahan di pernikahan yang dasarnya tidak ada.”
Beberapa menit aku tak mendengar suara apa pun selain helaan napasku sendiri. Riri menganggap pernikahan kami tidak berdasar? Apa dia lupa bahwa pernikahan itu dilandasi banyak hal? Bukan hanya cinta.
“Tidak bisakah kita seperti ini saja?”
“Aku lelah Dima.”
“Sabarlah, kita tunggu saat efek samping obatnya bekerja.”
“Lalu apa?”
“Uang asuransi yang ditanggalkan Shina bisa menghidupi kita.”
Sekarang aku mengerti. Mereka bermain api di belakangku. Mengambil kesempatan disaat aku tak berdaya. Mimpikah ini semua? Aku bergerak menjauh dari pintu kamar. Tak ingin mendengar lebih banyak hal menyakitkan dari mereka. Bisa-bisanya mereka mengkhianatiku? Ah tahu apa aku soal dikhianati sementara aku mengkhianati pernikahanku sendiri di dalam mimpi. Buru-buru kukunci pintu kamar dari dalam. Lalu meraih botol obat tidur di dalam laci. Menenggak semua isinya dan menelannya cepat-cepat dengan bantuan air yang masih di atas meja. Kuturunkan tubuhku ke lantai. Mataku berat sekali.
“Aku menunggumu. Kupikir kamu tak datang malam ini.”
“Bagaimana mungkin aku bisa tak datang menemuimu Atra.”
Atra menatapku dengan mata sipitnya. Bola matanya yang gelap membuatku tenggelam dalam lautan cintanya. Mimpikah ini? Aku melihat Atra meneguk segelas kopi.
“Kamu suka minum kopi?”
“Kalau susah tidur aku biasanya minum kopi dulu.”
Aku tersenyum dan menggenggam tangannya erat.
“Kamu tahu Atra, aku sudah menikah.”
“Sejak kapan kamu menikah? Itu hanya mimpimu saja.”
“Mungkin, aku bermimpi buruk sekali.”
Aku ragu dengan jawabanku sendiri. Aku tak yakin mana yang mimpiku. Apakah Dima atau Atra? Kuraih kopi dari tangan Atra dan menenggaknya sampai habis. Aku takut dan bermimpi yang aneh-aneh.